Selasa, 18 Oktober 2011

MUAMALAH


MUAMALAH
(Ar.: mu'amalah). Bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain, baik seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, seperti perseroan, firma, yayasan, dan negara. Badan hukum ini dalam hukum Islam dikenal dengan nama "asy-Syakhsiyyah al-I'tibariyyah". Contoh dari hu­kum Islam yang berhubungan dengan muamalah ini adalah jual beli, sewa-menyewa, dan perserikatan.
Pada awal munculnya, bidang bahasan fikih oleh para fukaha (ahli fikih) dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu akidah, ibadah, dan muamalah. Akidah mengandung kepercayaan kepada Allah SWT, rasul, malaikat, hari kiamat, dan sebagainya yang berhubungan dengan keimanan. Bidang ibadah mengandung permasalahan yang menyangkut hu­bungan manusia dengan Tuhannya, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Adapun bidang muamalah adalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesamanya dalam masyarakat.
Dalam bidang muamalah ini pada mulanya juga tercakup permasalahan keluarga, seperti perkawinan dan perceraian. Akan tetapi setelah terjadinya disintegrasi di dunia Islam, khususnya di zaman Turki Usmani (Kerajaan Ottoman), maka terjadilah perkembangan pembagian fikih baru. Bidang muamalah cakupannya dipersempit, sehingga masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum keluarga tidak masuk lagi dalam pengertian mua­malah. Hukum keluarga dan segala yang terkait dengannya dinamai al-ahwal asy-syakhsiyyah (masalah-masalah pribadi). Muamalah sendiri tinggal mengatur permasalahan yang menyangkut hubung­an seseorang dengan seseorang lainnya, dalam bidang ekonomi (seperti jual beli, sewamenyewa, dan pinjam-meminjam). Fikih muamalah dalam perkembangan selanjutnya disebut juga fiqh al-mu'awadah.
Pembagian fikih tersebut oleh Mustafa az-Zarqa dikemukakan sebagai berikut: (1) hukum yang ber­kaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT (disebut ibadah); (2) hukum yang mengatur permasalahan keluarga (disebut al-ahwal asy-syakhsiyyah; (3) hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang menyang­kut harta dan hak-hak serta penyelesaian kasus di antara mereka (disebut muamalah); (4) hukum yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah de­ngan rakyat dan sebaliknya, yaitu hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah (disebut al-ahkam as-sultaniyyah atau oleh sebagian lain disebut as-siyasah asy-syar'iyyali); (5) hukum yang berkaitan dengan permasalahan pelanggaran atau kejahatan (disebut al-'uqubah atau jinayah); (6) hukum yang berkaitan dengan hubungan negara Islam dengan negara-negara lainnya (disebut al-huquq ad-dawliyyah); dan (7) hukum yang berkaitan dengan akhlak, sikap dan tingkah laku manusia terhadap dirinya dan orang lain (disebut adab).
Dari gambaran di atas terlihat bahwa muamalah tersebut hanya menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dan seseorang yang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang satu dan badan hukum yang lain.
Dalam fikih muamalah, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Misalnya dalam melaksanakan hak atau bertindak, tindakan tersebut tidak boleh menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Setiap orang yang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, sekalipun tidak sengaja, akan diminta pertanggung-jawabannya.
Dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang ditetapkan syarak. Pertama, setiap tran­saksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi itu sendiri, kecuali transaksi yang jelas-jelas melanggar aturan syariat. Prinsip ini sesuai dengan surah al-Ma'idah ayat 1 yang memerintahkan orang-orang mukmin supaya memenuhi janjinya bila mereka berjanji. Kedua, syarat-syarat transaksi itu dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, selama tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan syariat dan adab sopan-santun. Inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: "Umat Islam itu berhak atas segala syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat itu menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." Ketiga, setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Keempat, syari' (pembuat hukum) mewajibkan agar setiap perencanaan transaksi dan pelaksanaannya didasarkan atas niat yang baik, sehingga segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan dapat dihindari. Bagi yang tertipu atau dicurangi diberi hak khiyar (kebebasan memilih untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi tersebut). Kelima, oleh syarak, setiap transaksi dan hak-hak yang muncul dari suatu transaksi, diberikan penentuannya pada 'urf atau adat untuk menentukan kriteria dan batasan-batasannya. Artinya peranan 'urf atau adat kebiasaan dalam bidang transaksi sangat menentukan, selama syarak tidak menentukan lain. Oleh sebab itu ada juga yang mendefinisikan mua­malah tersebut sebagai hukum-hukum syarak yang berkaitan dengan masalah keduniaan, seperti jual beli, pinjam-meminjam, dan sewa-menyewa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar